Oleh: Jackson Ikomou*)
TIMIKA- Pada, 23 Desember 2014. Saya tiba di Bandara Udara, “Moses Kilangin”, Timika, dengan menggunakan pesawat Sriwijaya Air dari Jakarta. Ketika
sesampai di tanah Amungsa. Di jemput Mama dan Bapa. Tak lama kemudian, pandanganku
mengarahkan di bagian ratusan masyarakat yang sedang kerumun di dekat domestik
wilayah Papua.
Karena
penasaran saya bertanya, “Mama mereka sedang apa itu ? Kaka, itu mereka sedang
urus tiket untuk pulang bernatalan di Kampung mereka masing-masing.
Kemudian mulai melangkah pulang ke rumah pake
sebuah motor milik Bapa.
Dari
Bandara Udara Tiba di rumah, di Timika Indah 2 perumahan . Ketika lihat tak ada
perhiasan natal. Namun, beberaba menit kemudian Bapa dan Mama ke Pasar. Pulang
ke rumah, ditangan mama ada bawah beberapa perhiasan natal. Melihat hal
tersebut, bikin saya tangis sejenak, untuk tutupi tangisan saya, menuju ke
toilot, berpura-pura untuk mandi.
Dinamika Kehidupan Masyarakat Tanah
Amungsa
Ini hasil pantauan saya tentang “Dinamika
kehidupan masyarakat di Tanah Amungsa West Papua”, Ada tiga bidang yang menjadi unsur
utama permasalahn, Yakni; Ekonomi,
Budaya, dan Pendidikan. Dalam hal
tersebut sangat memprihating; Sepanjang jalan raya tersusut ratusan ruko milik
kaum pendatang. Tak ada satupun usaha milik orang asli Kamoro dan Amugme di
Timika West Papua. Banyak kaum pendatang gelap terus mendatangi tanah amungsa
di Bandara Udara. Entah apa tujuan
mereka ? Diriku bertanya, wah aneh orang-orang ni bikin kaiya dong punya daerah
saja. Sepanjang jalan raya terlihat tumpukan sampah. Jalan-jalan raya rusak
parah, sampe sekarang belum ada revitalisasi.
Selain
itu, Produksi alam yang mestinya di
perdagangkan orang asli Kamoro dan Amungme, dikuasai orang pendatang. Tak ada
pasar tradisional bagi mama-mama asli setempat. Mama-mama asal Papua berjualan
dipikir jalan dengan mengalas plastik serta menahan panas dan hujan. Pasar yang
disediakan pemerintah dikuasai pendatang.
Perubahan
sosial budaya terkikis akibat arus globalisasi. Banyak anak-anak asli
terlantar. Warna kehidupan masyarakat di tanah amungsa sangat memprihating.
Puluhan anak tak ada perhatian serius oleh Pemerintah se-tempat. Juga tak ada
peraturan daerah yang mengatur untuk melindungi orang asli setempat.
Malam,
27 Desember 2014. Saya mendatangi mol “Diana”
terlihat anak-anak asli sedang mencium lem (Aibon).
Untuk apa maksud dari itu, saya belum tahu. “Sangat-sangat sakit sekali
menyasikan kenyataan itu. Kemudian, saya tergerak hati, lalu merampas semua
botol lem yang di genggamnya lalu buang.
Usai itu, melangkah pulang ke rumah.
Sepanjangan
jalan raya, orang berjualan, Za- tra
lihat orang Papua sedang jualan di sepajangan jalan raya Timika Indah. “Anehnya,
Pinang di jual kaum pendatang (Bugis, Jawa, Buton, dan lain –lain). Pinang adalah makanan khas orang Papua bagian pesisir pulau Papua.
Persoalan
tersebut bikin saya tangis sejenak. Tempat tinggal saya tak ada diskusi-diskusi
mengenai dinamika kehidupan orang Papua di tanah Amungsa.
Eksitensi
orang Indonesia di atas tanah Papua
bagaikan duri dalam daging. Namun, ingin saya tekankan bahwa; Pemerintah daerah
masing-masing di wilayah Papua harus bikin Peraturan daerah untuk melindungi
eksitensi atau potensi yang ada di wilayah masing-masing.
********
Mimika,
salah satu Kabupaten di provinsi Papua. Di jantung Kota Kabupaten ini banyak sampa
beramburan di sepajang jalan. Pihak pemerintah buta melihat kondisi ini, atau
kah mukin ada masalah di kubu Birokrasi. Selain Pemerintah daerah Kabuapten
Mimika terdapat sebuah perusahan raksasa milik Amerikan Serikat yang beroperasi
di bagian pegunungan Gesbert di Kabupaten ini.
Di
depan Gor Emeneme Yauwere tiap pagi
sampa terus bersarang. Ketika saya lewat di dekat jalan itu, menutup
hidung. Bikin saya benci dengan
Pemerintah setempat.
Keberhasilan Pemerintah Daerah
Kabupaten Mimika
Dari
beberapa sumber mengatatakan, Sejak Bupati Kabupaten Mimika yang baru,” Eltinus
Komaleng SE, dilantik jadi Bupati ada perubahan sedikit. Jika dibanding dengan
kepemimpinan sebelumnya.
Contoh
keberhasilan yang patut di apresiasi adalah; Ijin PT.PAL dibatalkan untuk operasi kelapa sawit
di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika. Dalam kebijakan ini, sangat baik serta harus
di contohi oleh bagi beberapa kepala daerah di Provinsi Papua, yang
semenang-menang ijinkan perusahan untuk operasi, akhirnya eksitensi terancam,
“Jelas seorang Mama Papua, berinisial KM dari kediamannya.
Kemudian,
ada pula yang mangatakan, beberapa jalan raya yang sebelum sulit untuk jangkau
ke rumah kami, sekarang bisa kami jangkau. Dalam hal ini kami sangat apresiasi
kepada Paitua Eltinus Komalang SE. Demikian jelas seorang mama berinisial KW.
Ironis, Anak Usia Dini
Terstruktural Dalam Komunitasi Negatif
5 Januaria 2015. Suatu ketika, di sore itu, saya mendatangi, Caffe
Noken, dengan maksud untuk mengirim
berita via emial. Namun, pandangan mengarah ke sampaing caffe tersebut,
terlihat beberapa anak bocah sedang ramai sambil mencim lem (Aibon). Soal ini,
bikin ngangis saya. Dalam kelompok ini, adik saya juga ada.
Tak
segang, saya manarik dirinya, lalu memukuli dia. Mulai saya bertanya, “Siapa
yang mengajar kamu begitu ? “Ahh, kaka
za cium aibon untuk cari uang !
Dia
mulai nangis. Adik saya yang berinisial SI mulai manggil teman2 untuk pukuli
saya. Akan tetapi saya mulai gertak yang bersangkutan dengan ucapan keras-ku,
namun Ia undurkan diri, ketika saya mengatakan, “saya dengan kakanya, ko jahu
dari saya. Ko jangan ajar2 adik saya dengan cium-cium Aibon.
Sadisnya,
“Mereka punya komunitas untuk saling menjaga. Jika teman mereka lagi
bermasalah, teman lainnya datang untuk menolongnya. Menyakut soal ini, Aparat Kepolisian
yang punya perang penting untuk tangani masalah tersebut mengabaikan. Jika
proses pembiaran terjadi, kinerja kepolisian setempat di pertanyakan. Mestinya
mereka harus melakukan razia terhadap keterlibatan anak usia dini dalam
komunitas negatif yang sedang berkembang secara pesat di tanah Amungsa. Selain
itu, Pemerintah setempat harus bikin peraturan daerah. Sebab, ini menyangkut
generasi penerus bangsa untuk kedepan
0 komentar:
Posting Komentar